Pertama, serial Netflix When Life Gives You Tangerines (폭싹 속았수다) telah memikat penonton dengan cerita yang menyentuh tentang kehidupan di Pulau Jeju. Sejak awal, serial ini menampilkan kehidupan sehari-hari para Haenyeo, menyoroti tantangan dan suka duka yang mereka hadapi. Serial ini dengan indah menggambarkan bagaimana Haenyeo menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Jeju, mewakili ketahanan dan semangat komunitas mereka.

Kedua, JTBC dan BBC Studios berkolaborasi dalam sebuah dokumenter khusus, Deep Dive Korea: Song Ji-hyo’s Haenyeo Adventure. Dokumenter ini mengikuti aktris Song Ji-hyo saat ia mengalami kehidupan yang berat dari para Haenyeo. Melalui lensa Song Ji-hyo, penonton dapat melihat keteguhan mental dan cara hidup yang unik dari para wanita ini. Dokumenter ini secara khusus dirancang untuk menyebarkan budaya Haenyeo, menunjukkan bagaimana mereka mengandalkan alat sederhana seperti tewak (pelampung) untuk menopang hidup di lautan luas.


Siapakah Haenyeo?

Haenyeo (海女), secara harfiah berarti “wanita laut,” adalah penyelam wanita yang mencari hasil laut di perairan dangkal. Meskipun mereka juga dikenal dengan nama lain seperti “murekkun” di pesisir selatan dan “jamnyeo” di Jeju, istilah Haenyeo menjadi lebih umum digunakan setelah masa penjajahan Jepang.

Kegiatan menyelam untuk mengumpulkan hasil laut adalah hal yang umum di seluruh dunia. Namun, metode yang dilakukan oleh Haenyeo—menyelam tanpa peralatan pernapasan—hampir secara eksklusif ditemukan di Korea dan Jepang. Haenyeo di Pulau Jeju secara khusus terkenal karena konsentrasi mereka yang tinggi, menjadikannya pusat perhatian global.

Dahulu, para Haenyeo Jeju sering kali melakukan perjalanan jauh dari rumah mereka. Mereka melakukan migrasi musiman, menyelam di sepanjang garis pantai Korea dan bahkan di luar negeri, termasuk Jepang, Vladivostok, dan kota-kota di Tiongkok. Perjalanan ini, yang dikenal sebagai “chulga”, dimulai sekitar tahun 1850-an setelah berakhirnya larangan migrasi di Pulau Jeju.


Sejarah dan Peralatan Haenyeo

Kehadiran Haenyeo telah didokumentasikan selama berabad-abad. Catatan sejarah dari Dinasti Goryeo dan Joseon menyebutkan keberadaan mereka, bahkan melarang praktik tertentu seperti menyelam tanpa busana. Hal ini menunjukkan bahwa penyelam pria, yang dikenal sebagai Haenam (海男), juga ada di masa lalu. Haenam terutama bertugas mengumpulkan abalon sebagai upeti untuk keluarga kerajaan.

Peralatan yang digunakan Haenyeo sangat sederhana namun efektif:

  • Tewak: Pelampung untuk menahan diri dan menandai lokasi mereka.
  • Mangasiri: Jaring yang terpasang pada tewak untuk menyimpan hasil laut.
  • Bit-chang: Alat besi pipih panjang untuk mengambil abalon dari batu.
  • Jeong-ge-homi: Sabit kecil untuk memotong rumput laut.
  • Galgori: Cakar besi untuk mengambil kerang.
  • Sosal: Tombak untuk menangkap ikan.
  • Mul-ot: Pakaian selam. Awalnya terbuat dari katun, kini diganti dengan wetsuit karet modern.
  • Nunjin: Kacamata selam.

Pelatihan dan Struktur Komunitas

Menjadi seorang Haenyeo bukanlah hal yang instan, melainkan hasil dari latihan dan pengalaman bertahun-tahun. Gadis-gadis di desa pesisir Jeju mulai belajar menyelam di perairan dangkal, yang dikenal sebagai “aegi badang”. Mereka belajar dengan mengamati Haenyeo yang lebih berpengalaman dan mengumpulkan kebijaksanaan melalui cerita dan pengalaman pribadi.

Struktur komunitas Haenyeo sangat terorganisir, dengan hierarki yang jelas berdasarkan keterampilan menyelam mereka:

  1. Sang-gun (상군): Haenyeo paling terampil dan berpengalaman. Mereka adalah pemimpin komunitas yang membagikan pengetahuan tentang lokasi terbaik untuk mencari hasil laut dan praktik keselamatan.
  2. Jung-gun (중군): Haenyeo dengan keterampilan menengah.
  3. Ha-gun (하군): Haenyeo pemula.

Para Haenyeo Sang-gun tidak hanya mengajarkan keterampilan menyelam, tetapi juga nilai-nilai budaya dan rasa tanggung jawab terhadap komunitas mereka.


Pengakuan sebagai Warisan Budaya

Budaya Haenyeo adalah perwakilan unik dari tradisi bahari Korea, yang menunjukkan simbiosis antara manusia dan alam. Pengetahuan ekologis mereka yang mendalam, kerja sama tim, dan sistem kepercayaan yang unik membentuk budaya komunitas yang khas.

Untuk melestarikan warisan berharga ini, Haenyeo diakui sebagai Aset Budaya Takbenda Nasional ke-132 di Korea pada Mei 2017. Pengakuan ini menyoroti nilai historis dan keunikan dari cara hidup mereka.

Secara internasional, Budaya Haenyeo Jeju juga dimasukkan dalam daftar Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan UNESCO pada tahun 2016. Pengakuan ini meliputi berbagai aspek:

  • “Muljil” (물질) atau budaya menyelam tanpa peralatan pernapasan.
  • “Jamsugut” (잠수굿), ritual untuk mendoakan keselamatan dan panen melimpah.
  • Lagu-lagu Haenyeo yang dinyanyikan di atas perahu.
  • Peran perempuan dalam transmisi pengetahuan dari ibu ke anak perempuan.

Budaya ini mendapat pujian karena melambangkan identitas regional yang unik, mempromosikan praktik ramah lingkungan, dan mewariskan pengetahuan dari generasi ke generasi melalui komunitas.

Meskipun menghadapi tantangan seperti penuaan, perubahan iklim, dan kondisi kerja yang berat, pengakuan global terhadap budaya Haenyeo melalui acara media seperti Netflix dan BBC sangatlah signifikan. Hal ini tidak hanya meningkatkan kesadaran, tetapi juga membantu memastikan bahwa warisan budaya unik ini akan terus hidup dan diwariskan untuk generasi yang akan datang.

Leave a comment

이메일 주소는 공개되지 않습니다. 필수 필드는 *로 표시됩니다